DALAM RENCANA-NYA

Posted: Oktober 24, 2015 in Baca Peristiwa
Tag:

Kamera itu tak bisa dipakai lagi. Sudah tiga tahun saya memilikinya. Kamera yang selama ini memudahkan diriku untuk pamer kegiatan, unjuk “kebolehan”, dan narsis keluarga, kini telah purna tugas. Ya, istriku yang dini hari tadi pulang dari pikniknya, menyerahkan kamera yang terendam air pantai Pangandaran dengan muka merunduk. Barangkali sangat tak enak hati, terbata-bata, tangan gemetaran, ia meminta maaf kepadaku. Naluri seseorang yang merasa bersalah, tak sanggup menatap mata lawan bicara.

Hmmm, hatiku tertawa. Enak juga menikmati keadaan ini. Menikmati diri yang egois, seolah tak punya andil kesalahan. Menikmati kondisi orang lain yang tertekan oleh rasa bersalah. Melihat istri yang mendadak bertingkah kaku, dan grogi. Malah ia kepingin membelikan kamera baru, sebagai penebusan rasa bersalah. Diam-diam, saya menikmati keadaan tersebut. Asyik…asyik….

Memang terus terang, saya rada sebal, begitu mengetahui kondisi kamera yang beralih fungsi. Dari fungsi untuk mendokumentasikan peristiwa, mengabadikan yang berlalu, kini beralih menjadi onggokan dokumen alias artefak itu sendiri. Tetapi, ya, tetap sepenuhnya bukan kesalahannya. Bukan kesalahan istri yang tak mahir pegang kamera, yang teledor dan gaptek dengan yang serba digital. Barangkali saya juga ikut andil, lantaran tak pernah mengajarinya untuk memegang kamera digital. Terlebih, bukan usiaku lagi untuk memelihara rasa sebal, jengkel, gemas dan amarah. Bukan pula untuk terus-menerus mencatat kesalahan pihak lain.

Ya, usiaku yang tak lagi muda, usia yang kini merangkak senja, oleh karenanya kemana lagi pikiran dan perasaan dilabuhkan selain tegak melangkah ke arah-Nya. Onggokan kamera mesti dihayati sebagai pertanda kehadiran-Nya. Kehadiran Tuhan yang menuntun diri agar sedikit demi sedikit berjarak dengan benda-benda. Benda-benda itu sampai kapan pun akan tetap sebagai benda yang fana. Tinggal perlakuan kita yang membedakannya. Benda tersebut akan terus mengikat kita lantaran sudah merasuk ke dalam hati, sehingga status keberadaan kita pun senada nilainya dengan benda itu sendiri. Atau sebaliknya, benda sekadar instrumen yang bisa kita gunakan untuk memuliakan diri di hadapan pihak lain. Benda-benda tersebut kita gunakan untuk meringankan, memudahkan, dan membantu orang lain mendapatkan apa-apa yang mereka butuhkan. Mereka butuh informasi, butuh pengetahuan, maupun arahan, dan sebagainya. Oleh karena itu, onggokan kamera tiada lain merupakan peringatan-Nya, kalau sebetulnya selama ini, saya terikat dan menggantungkan kehadiran bukan kepada-Nya. Selama ini, dalam menjamah lingkungan dan mengisi album harian, telah salah kiblat.

Jadinya, alhamdulillah kamera sudah tak bisa digunakan. Terima kasih pula istriku, engkau telah menjadi pengantar kehadiran-Nya. Engkau jadi kendaraan-Nya untuk menjewer kelalaianku dalam menghayati makna kehadiran diri. Maka, usah menangis! Hapus rasa bersalahmu! Sungguh engkau tak bersalah. Engkau bukan penyebab purna tugasnya kamera. Engkau hanya jadi mediasi-Nya saja, sama sekali bukan yang membuat apalagi merencanakan untuk merusak kamera. Tuhan yang punya mau, dan kita tinggal menyesuaikan saja apa-apa yang Ia rancang untuk kita. Begitulah, Rahma Istiqomah !

Ungaran, 12/10/2015; 10.03

Tinggalkan komentar